Penelitian-penelitian yang menjawab beberapa fenomena seputar pernikahan.
Ada banyak pertanyaan yang berkelebat di kepala pasangan saat
menjalankan hubungannya. Berusaha menjawab segala pertanyaan lewat ilmu
pengetahuan pasti, para peneliti mencoba melakukan studi untuk
membuktikan mitos, asumsi, maupun nasihat-nasihat seputar pernikahan.
Berikut ini 10 hasil penelitian berkait pernikahan:
1. Ragu-ragu sebelum pernikahan bisa menjadi pertanda pernikahan tak langgeng
Gugup, khawatir, dan segala perasaan ragu sebelum pernikahan adalah hal
yang lumrah dialami kedua insan yang akan menikah. Namun, bila keduanya
mengalami kegugupan yang amat sangat, menurut penelitian, ini bisa
menjadi pertanda hubungan pernikahannya tak langgeng.
Hasil penelitian yang dipublikasikan di Journal of Family Psychology di
bulan September lalu melaporkan, pasangan yang mengalami keraguan besar
sebelum menikah, dalam waktu 4 tahun, 12 persen di antaranya bercerai.
Angka prevalensinya lebih tinggi bila yang merasa gugup teramat sangat
itu adalah si mempelai perempuan. Artinya, gugup luar biasa dan tidak
yakin akan pernikahannya bukanlah perasaan yang normal.
2. Pernikahan membuat perempuan lebih sering minum minuman keras
Hasil studi terhadap perempuan di Amerika Serikat (AS) yang dilansir
University of Cincinnati, AS pada bulan Agustus lalu menyatakan,
perempuan yang menikah cenderung mengkonsumsi lebih banyak minuman keras
ketimbang perempuan yang bercerai. Perempuan menikah cenderung minum
sekitar 9 gelas minuman keras per bulannya dibanding perempuan bercerai,
yang rata-rata minum sekitar 6,5 gelas minuman keras per bulan.
Sementara bagi lelaki yang menikah, justru jumlah gelas minuman yang
dikonsumsi secara rata-rata, berkurang. Sebelum menikah, para lelaki
yang turut dalam studi mengkonsumsi sekitar 19 gelas per bulan,
sementara lelaki yang bercerai mengkonsumsi sekitar 22 gelas per bulan.
Studi ini juga menunjukkan, lelaki lajang mengkonsumsi lebih banyak minuman keras dibanding perempuan lajang.
Karena itu, diperkirakan, meningkatnya jumlah minuman keras yang
dikonsumsi perempuan yang sudah menikah adalah akibat mengikuti jumlah
gelas minuman yang dikonsumsi suaminya, sementara lelaki yang menikah
berusaha mengikuti kebiasaan minum pasangannya. Begitu pernikahannya
berakhir, pola konsumsi minuman kerasnya pun kembali seperti sebelum
menikah.
3. Pernikahan bisa meningkatkan daya juang penderita penyakit jantung
Studi yang dipublikasikan di Journal of Health and Social Behaviour pada
bulan Maret mengungkap, pasien yang baru melewati operasi jantung saat
masih dalam lingkup pernikahan memiliki kemungkinan kembali pulih 3 kali
lebih besar ketimbang orang yang melajang. Makin kuat dan bahagia
pernikahannya, kian besar pula kemungkinan perempuan dengan penyakit
jantung yang menjalani operasi jantung untuk kembali pulih. Diperkirakan
para peneliti, memiliki pasangan yang mendukung gaya hidup sehat
memiliki peran besar dalam kesembuhan pasien.
4. Ajakan menikah dari lelaki lebih diharapkan
Rumornya, Britney Spears dan Elizabeth Taylor pernah melamar lelakinya
untuk menikah. Walau kesetaraan gender sudah dielu-elukan, namun
sepertinya, untuk urusan lamaran menikah lebih disukai datang dari
lelaki. Hasil studi yang dilakukan di University of California
mengungkap, tak ada satu pun mahasiswa yang suka pada ide perempuan
melamar lelakinya. Lamaran masih diharapkan datang dari lelaki kepada
perempuan.
5. Hubungan baik dengan mertua punya mengubah pemikiran untuk bercerai
Menurut Terri Orbuch, MD, bila seorang lelaki memiliki hubungan baik
dengan mertuanya, kemungkinan keluarga yang ia bina untuk bercerai
berkurang hingga 20 persen.
Namun, kebalikannya, bila seorang istri memiliki hubungan yang baik
dengan mertuanya, kecenderungan untuk pernikahannya mengalami perceraian
justru meningkat hingga 20 persen. Alasannya, di suatu titik, si istri
akan menganggap mertuanya terlalu ikut campur. Sementara, para suami
yang memiliki hubungan baik dengan mertuanya tidak terlalu mengambil
pusing dan tak memasukkan segalanya dalam hati.
Jadi, dirangkum para peneliti, untuk para perempuan, menjaga batasan
yang cukup dengan mertua adalah hal yang penting, dan mungkin bisa
menyelamatkan pernikahan.
6. Pasangan berkulit putih yang menikah
memiliki kemungkinan hidup lebih lama ketimbang pasangan kulit putih
tak menikah tapi hidup bersama
Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan di Journal of Marriage and
Family di bulan Agustus, pasangan dari ras kaukasia yang menikah
memiliki angka mortalitas yang rendah dibanding pasangan "kumpul kebo".
Namun, hal ini tidak berlaku pada pasangan campuran Afrika-Amerika. Hal
ini bisa terjadi karena pasangan kulit putih tidak menganggap "kumpul
kebo" sebagai sebuah hubungan pernikahan, sehingga tingkat mortalitasnya
tak terpengaruh dari hidup bersama. Sementara bagi pasangan berkulit
hitam, tinggal bersama di luar pernikahan dan hubungan pernikahan
dinilai setara, sehingga tingkat mortalitasnya setara.
7. Tak ada fase bulan madu
Riset yang dilangsungkan Australian Centre on Quality of Life merangkum,
fase awal pernikahan (fase bulan madu) tidak selalu membuat pasangan
merasa bahagia. Ketika sekelompok responden diminta menilai titik
kebahagiaannya, para peneliti menemukan, pasangan yang baru menikah
secara rata-rata menilai, tingkat kepuasaannya berada di titik 73,9.
Sementara, pasangan yang sudah menikah setidaknya 40 tahun menilai
kepuasan hubungannya berada di titik 79,8.
Menurut salah satu peneliti, Melissa Weinberg, PhD, hal ini bisa terjadi
karena pasangan yang baru menikah sedang mengalami penyetaraan yang tak
mudah. Mereka tiba-tiba harus mengambil keputusan-keputusan bersama dan
menjalani transisi antara suami-istri yang rentan friksi. Hal ini bisa
mengakibatkan rendahnya tingkat kebahagiaan.
8. Menjelang perceraian, perceraian cenderung bekerja lebih lama
Hasil riset yang dipublikasikan di European Economic Review bulan
November 2012 mengungkap, perempuan yang mengetahui pernikahannya akan
berakhir dalam waktu dekat cenderung berlama-lama di kantor. Bukan untuk
mengalihkan pikiran, tetapi mencoba mencari semacam bentuk jaminan.
Dengan kata lain, para perempuan berharap, dengan bekerja lembur,
posisinya di kantor akan lebih aman dan berharap bisa mendapat uang
tambahan. Ini dilakukan sebagai kewaspadaan bila ia bercerai dan si
suami tak lagi menafkahinya dan anak-anaknya.
9. Pasangan menikah lebih mudah mendapatkan pekerjaan
Data di bulan November yang dipublikasikan di Insee, lembaga statistik
nasional di Prancis mengungkap, nyaris 95 persen dari pasangan yang
berusia 30-54 tahun memiliki pekerjaan. Sementara, hanya 77 persen dari
lelaki lajang dan 78 persen perempuan lajang di usia sama yang memiliki
pekerjaan tetap. Walau banyak faktor-faktor lain yang memengaruhi
tingkat perolehan pekerjaan ini, namun, memiliki keluarga yang harus
dinafkahi dinilai menjadi jaminan bagi perusahaan. Orang yang sudah
menikah butuh pekerjaan dan akan berusaha bekerja sebaik-baiknya agar
bisa terus mendapat pemasukan.
10. Pasangan yang berbagi tugas rumah secara merata cenderung bercerai
Hasil penelitian yang dilangsungkan di Norwegia dan dilaporkan pada
bulan Agustus mengungkap, pasangan yang membagi rata tugas di rumah
memiliki kemungkinan bercerai sebesar 50 persen lebih banyak ketimbang
pasangan yang menimpakan semua tugas rumah kepada perempuannya.
Menurut para peneliti, perceraian yang terjadi bukan semata-mata karena
masalah pembagian tugas di rumahnya, melainkan karena pandangannya.
Pasangan yang membagi tugasnya dinilai sebagai pasangan yang
berpandangan modern, artinya tidak lagi memegang teguh "aturan"
tradisional yang mengatakan, tugas-tugas di rumah sebaiknya dilakukan
perempuan saja. Karena itu, mereka pun juga tidak terlalu memusingkan
larangan untuk bercerai, juga cenderung berpikiran terbuka, termasuk
terhadap pilihan untuk bercerai, sehingga tak takut untuk memilih
bercerai.
Sumber :
Klik Disini