Mengenali dan menyadari ada di tahapan mana akan membantu perempuan dalam menjalani pernikahannya.
|
Ilustrasi tentang pernikahan (sumber: LiveScience) |
Setiap perempuan yang mengucap ikrar pernikahan pasti berharap hubungan
itu akan selalu menjadi yang pertama dan terakhir. Namun, studi
mengungkap, setelah beberapa tahun menjalani pernikahan, bila ia boleh
berandai untuk mengulang waktu, apakah ia akan tetap menikahi suaminya, 6
dari 10 istri akan menjawab: tidak.
Susan Shapiro Barash mewawancarai sekitar 200 perempuan dengan usia
antara 21-85 tahun, dan studi di atas adalah salah satu hasil studinya
yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul The Nine Phases of Marriage: How To Make It, Break It, Keep It.
Menurut Barash, perempuan yang menikah dan memiliki anak akan melewati 9
tahapan pasti. Dengan menunjukkan perempuan cara mengenali tahapan yang
sedang ia lalui, Barash mengatakan, besar kemungkinan hubungan
pernikahannya akan menjadi lebih kuat dan bertahan lama.
Berikut ini 9 tahapan yang dimaksud Barash:
1. Pengantin yang penuh harap
Ini adalah tahap penuh idealisme sebagai pasangan yang baru menjalani
hidup bersama. Masih ada 3 faktor kunci kebahagiaan pernikahan: gairah,
keintiman, dan komitmen.
Mungkin, di tahap ini, beberapa pasangan berhasil melewati beberapa
badai bersama. Di tahap ini, si istri akan merasa suaminya adalah batu
pegangannya, dan romansa akan bertahan selamanya.
"Para istri di tahap ini bercita-cita agar gairah di dalam hubungan
tetap menyala. Beberapa perempuan bahkan mengungkap akan memastikan
pernikahannya berjalan baik dan langgeng, belajar dari pengalaman pahit
karena perceraian orangtuanya," jelas Barash.
Disarankan Barash, gairah dan keintiman sudah pasti akan ada di tahapan
ini, tetapi amat penting pula untuk membangun persahabatan erat supaya
pernikahan bisa terus berjalan.
2. Istri sempurna
Sebelum pernikahan, biasanya ada perjanjian antara individu dalam
pasangan itu untuk saling berbagi beban dalam menjalankan hidup.
Namun, setelah 2-3 tahun pernikahan biasanya mulai terlihat siapa yang
lebih dominan dan menjadi "sutradara", penjaga rumah, dan pelaksana
tugas, dan biasanya semua peran ini dilakukan si istri.
Barash mengatakan, problem umumnya bermula di tahap kedua ini, karena
para suami merasa sudah menunjukkan komitmen yang cukup dengan berada di
pelaminan.
Di era sekarang, sudah banyak sekali istri yang juga bekerja, tak heran,
banyak perempuan merasa kelelahan karena harus menjalani banyak peran,
tetapi ada pula perempuan yang merasa tak cukup dihargai.
"Di tahap ini, banyak perempuan berharap suaminya memiliki kebiasaan yang sama dengan mereka," ujar Barash.
Disarankan, ketika istri melihat ada kebiasaan buruk lelaki yang
terlihat, contoh; meninggalkan baju kotor di sembarang tempat, ingatkan
diri, tak ada pernikahan yang ideal. Cobalah cari jalan tengah dengan
suami, bicara, ungkap hal-hal yang bisa ditoleransikan dan yang tidak.
3. Pusat perhatian berpindah
Begitu si kecil hadir di tengah-tengah keluarga, umumnya sikap dan
perhatian perempuan akan berpindah. Sebagian perempuan akan kehilangan
fokus atau ketertarikannya kepada pasangannya, karena di alam bawah
sadar, si lelaki dianggap sudah memenuhi tugas membantu membuat
keturunan.
Kebanyakan istri yang baru memiliki anak cenderung lupa mengenali siapa
dirinya, umumnya, perbincangan dan keintiman dalam pasangan tersebut
mengering, dan bisa menciptakan jarak.
Disarankan, meski sulit, jangan pernah kehilangan jati diri dalam
hubungan karena menjalani peran sebagai ibu. Jagalah hubungan percintaan
sebaik mungkin, begitu juga dengan perawatan anak. Bicarakan dengan
suami untuk menentukan cara terbaik untuk merawat keluarga.
4. Satu ranjang, dua mimpi
Di fase ini, biasanya di usia pernikahan 9-10 tahun, banyak istri
mengatakan, 1-2 hari jauh dari suami bagai sebuah liburan yang dinanti.
Penelitian Barash menemukan, bahkan istri yang bertekad supaya
pernikahannya tetap langgeng pun merasa ada rasa ingin jauh sejenak dari
pasangannya. Masalah yang umum menjadi masalah antara lain; uang dan
cara mendidik anak.
Barash menyarankan agar Anda menurunkan standar yang diharapkan dari
suami. Jumlah kekecewaan akan berkurang bila Anda bisa mengikuti arus
perubahan dalam pernikahan sekaligus mengendalikan ekspektasi dari
pasangan.
5. Jarak
Sekitar tahun ke-15 dari pernikahan, anak sudah terlihat lebih dewasa,
banyak istri yang berpikir untuk kembali bekerja agar bisa menghasilkan
uang tambahan dan kesibukan.
Fase ini bisa menciptakan lahan subur untuk perselingkuhan. "Sekitar 60
persen istri akan memimpikan sebuah perselingkuhan, tetapi bisa juga
membuat mimpi itu menjadi nyata di suatu titik dalam pernikahannya,"
kata Barash.
Biasanya, kata Barash, perselingkuhan terjadi karena lelaki idaman lain
itu memuaskan suatu hal yang tak bisa dipenuhi si suami. Seringnya, si
selingkuh adalah orang yang bertolak belakang dari suami.
Barash menyarankan para istri di tahap ini untuk menciptakan waktu khusus bersama suaminya.
6. Perceraian di usia pertengahan
Untuk para istri di usia pernikahan sekitar 20 tahun, perselingkuhan di tahap 5 bisa mengarah ke perceraian di fase keenam.
Kebanyakan perempuan mulai berhitung tentang pernikahannya. Ada yang
berpikir, mereka sudah bisa menghasilkan uang sendiri, anak-anak sudah
dewasa, jadi mereka merasa percaya diri untuk bercerai.
Perempuan di usia pernikahan ini mulai berpikir seperti apa rasanya
hidup melajang. Ini adalah tahap akhir pernikahan bagi beberapa
pasangan. "Para istri yang merasa tidak puas dengan pernikahan di usia
paruh baya dan memilih untuk bercerai umumnya merasa lebih puas," jelas
Barash.
Sebelum memilih untuk bercerai, cobalah untuk menemui konselor
pernikahan sendiri. Bila masih ragu akan perceraian, coba berpisah
sementara, jangan mengambil keputusan terlalu cepat.
7. Renegosiasi
Di usia pernikahan 15-30 tahun Anda mungkin akan mulai menilai ulang dan memutuskan apa yang terbaik untuk pernikahan.
Mulai terdengar kabar dari teman-teman seusia yang telah bercerai bahwa
hidup melajang lagi terasa hampa, lelaki yang seusia pun tak juga bisa
memuaskan gairah seksual.
Banyak perempuan di usia pernikahan ini berpikir, "Tak bisa hidup dengan suami, tetapi tak bisa pula hidup tanpanya.
Tanyakan pada diri sendiri, apakah keinginan untuk berpisah dari suami
datang karena dorongan teman yang sudah bercerai dan menyombongkan cinta
barunya? Bila hanya karena dipanasi teman padahal tak ada masalah
mendasar dengan pasangan, lebih baik coba untuk menyalakan kembali
gairah asmara dengan suami terlebih dulu.
8. Keseimbangan
Di usia 30-40 tahun pernikahan, masing-masing individu dalam pernikahan
sudah mengetahui kekuatan dan kelemahannya. Di tahap ini, kehadiran cucu
bisa membantu menyeimbangkan hidup.
Cobalah untuk bersikap lebih suportif kepada suami dan mencoba
menyesuaikan diri dengan perubahan dalam hidup, seperti menjadi
kakek-nenek. Konsentrasikan diri menjadi sahabat, cari pula kesamaan
diri.
9. Cinta kasih
Mendekati ulangtahun pernikahan perak atau emas, para istri umumnya
sudah belajar pentingnya untuk menghormati pasangan. Mereka juga belajar
arti dan cara memaafkan.
Khawatir akan uang mungkin masih menjadi persoalan. Menurut Barash, biasanya istri bertindak sebagai bank dalam hubungan.
Biasanya, di usia pernikahan ini, si istri berdiri tegak dan kukuh. Ia
sudah paham dan selesai mengadaptasikan sikap dan sifatnya sambil
menghormati dasar ikrar dan komitmen pernikahan.
Kata Barash, jadilah jaring pengaman untuk masing-masing. Jangan
pusingkan masa lalu, jangan luapkan dendam. Ketahuilah, menggapai mimpi
hidup tak harus menyakiti pernikahan.